Novel-novel dari Timur Tengah mulai banyak diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Sayang, pemilihannya masih lemah dan kuno.       
Angin  padang pasir tampaknya sedang berhembus ke sini. Novel dan karya fiksi  para sastrawan Timur Tengah mampir sudah. Sejumlah pengarang yang  sebelumnya tak dikenal di sini, kini buku mereka dapat dengan mudah kita  jumpai di rak-rak toko buku. 
Kini,  bagi pembaca Indonesia, sastra Timur Tengah bukan cuma tentang  gang-gang Kairo yang sempitnya Naguib Mahfouz, perempuan yang marah  seperti Nawal el-Saadawi dan Fatimah Mernissi, puisi melankolinya Gibran  Khalil Gibran, atau kontroversialnya Taha Husein. Belakangan, pembaca  Indonesia juga disambangi novel-novel cinta Ihsan Abdel Qudous, atau  novel Islami dari Naguib Kaelany. 
Tidak  hanya dari dunia Arab, belahan lain Timur Tengah seperti Turki dan Iran  juga ikut meramaikan rak berisi novel terjemahan. Bahkan kalau kita mau  memperluas istilah Timur Tengah hingga ke negeri-negeri Islam di Asia  Selatan seperti Pakistan dan Afganistan, kita akan mendapati novel-novel  menarik dari Tariq Ali dan  Khaled Hosseini.
Karya  sastra Timur Tengah, terutama yang berbahasa Arab, memang selama ini  belum tergarap serius di Indonesia. Padahal, menurut Prayudi, chief  editor Zahra Publishing House yang banyak menerjemahkan novel-novel  Timur Tengah,  banyak sekali bahan-bahan yang mereka anggap bagus untuk  diterbitkan. Sebagian besar berasal dari Mesir, Iran, Libanon dan  sejumlah wilayah berbahasa Arab dan Parsi lainnya. 
"Yang  paling gampang dari Mesir," kata Yudi. Itu karena banyak mahasiswa kita  yang bersekolah di sana, yang menjadi penyambung perkembangan dunia  perbukuan Mesir. Menjadikan mahasiswa Indonesia sebagai "spionase"  sastra Arab memang langkah mudah untuk mengeksplorasi karya sastra yang  belum populer di dunia perbukuan internasional, atau yang belum  diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Kalaupun  ada hambatan, datangnya dari agen Mesir sering tidak profesional dalam  menangani kontrak hak cipta. Ketidakprofesionalan mereka seringkali  ditunjukkan dengan berubahnya nilai kontrak yang telah disepakati.  "Padahal, biaya yang kita keluarkan sama mahalnya dengan harga yang kita  bayar untuk novel barat," katanya. 
Namun  mengandalkan mahasiswa yang belajar di sana juga memiliki kelemahan.  Pilihan tema dan penulis yang merka pilih kerap kurang beragam karena  hanya mengandalkan selera dan pengetahuan para mahasiswa yang lamban  mengikuti perkembangan sastra mutakhir. 
Akses  yang sangat terbatas terhadap novel-novel Timur Tengah juga diakui  Ahmad Taufiq dari Penerbit Serambi.  Menurutnya, kebanyakan novel Timur  Tengah diperoleh dari agen luar negara Timur TEngah, seperti dari Eropa  yang biasanya memiliki agen yang lebih banyak dan mudah diakses. 
Selain  itu, akan lebih mudah pula jika penulisnya tinggal di luar negara  asalnya. Ia mencontohkan Tariq Ali, penulis novel tetralogi semi sejarah  Kitab Salahudin. "Jika Tariq Ali mukim di Pakistan, prosesnya  pasti akan lebih sulit." Nasib Tariq sama dengan Amin Maalouf yang  novelnya dikenal di sini setelah mampir dulu ke bahasa Inggris.
Sulitnya  akses itu membuat sastrawan yang bukunya banyak beredar di Indonesia  adalah nama-nama yang berjaya di masa silam. Lihat saja misalnya Ihsan  Abdel Quddous yang seangkatan dengan Naguib Mahfouz. Karya Abdel Quddous  lumayan banyak yang sudah diterjemahkan. "Lima enam novel itu lumayan  spektakuler untuk ukuran novel Arab," kata Yudi. 
Tapi  itu bukan berarti laku. Novelnya yang sarat nuansa sastra dan masih  bertema klasik memang susah meraup perhatian. "Sudah tidak selaras lagi  dengan perkembangan zaman dan derasnya arus ide fiksi baru," kata Yudi.
Kabar  tidak menggembirakan ini juga terjadi pada novel-novel Timur Tengah  lainnya. Menurut Prayudi, novel-novel itu tidak cukup menyita perhatian  para pembaca Indonesia. "Capek mencetak dan menerbitkannya saja," kata  Yudi. "Kami sampai memutuskan berhenti menerbitkan novel dari jenis  ini."
Yudi  memperkirakan tema yang sudah lumrah ditemui dalam masyarakat  Indonesia, yang membuat karya-karya Timur Tengah ini sepi pembaca.  "Kisahnya paling-paling seputar cinta terlarang, penderitaan perempuan,  tema politik di dunia Islam, dan kemanusiaan," katanya. Lumrah saja jika  peredaran novel ini berhenti pada cetakan pertama.
Nasib yang lumayan baik diraih The Kite Runner karya Khaled Hosseini, yang diterbitkan Qanita, dari kelompok Mizan.  Novel Afganistan ini sudah terdongkrak popularitasnya saat menjadi  perbincangan kritikus barat. Padahal, temanya juga tidak jauh berbeda  dengan novel lain dari wilayah konflik.
Sebenarnya,  tema yang sedikit berbeda bisa didapat dari Iran. "Temanya lebih  beragam dan acap kali unik," kata Yudi. Dibandingkan rekan-rekannya dari  negara-negara Timur Tengah, penulis Iran memang jauh lebih "nekat"  dalam menulis. Mereka berani memilih tema yang dianggap rawan bagi  lingkungan berbudaya Islam. "Saya pernah membaca bahan novel Iran yang  menuturkan gugatan terhadap Tuhan tentang proses penciptaan manusia,"  kata Yudi. "Bikin merinding sebagian besar orang Islam, deh." Meski  mengaku tertarik, mereka tidak mungkin menerbitkannya. "Kami tidak mau  menuai masalah," katanya diiringi tawa.
Selain  itu, mereka juga menerbitkan novel Sadeq Hedayat, penulis Iran yang  liberal untuk ukuran jamannya. Lebih dikenal sebagai penulis cerita  pendek, Hedayat menelurkan novel yang tidak umum untuk masyarakat Iran  saat ia berkarya (antara tahun 1930-an hingga awal 1950-an). Novelnya The Blind Owl, misalnya sangat berbau Eropa karena mengisahkan konflik psikologis Iran modern. 
Ada pula novel Mohsen Makhmalbaf, yang di sini lebih dikenal sebagai sutradara hebat. Novelnya The Crystal Garden sarat konflik psikologis perempuan Iran, yang terkungkung budaya dan   larangan-larangan. Entah kenapa pula, novel yang diedarkan Zahra pada  2006 ini juga tidak menggembirakan nasibnya. Rupanya nama besar  Makhmalbaf tidak menjamin novelnya ikut terdongkrak sekayaknya film-film  besutannya. 
Cara  lain yang dipakai untuk memikat adalah dengan memakai judul bahasa  Inggris, seakan-akan itu adalah judul aslinya. Hal ini dapat dimaklumi  jika mereka menerjemahkannya dari edisi terjemahan bahasa Inggrisnya,  tapi ternyata banyak novel berjudul Inggris itu yang diterjemahkan  langsung dari bahasa Arab. Misalnya novel Al-Launul Aakhar (Terkutuk yang Lain) milik Quddous yang edisi Indonesinya diberi judul An Evening in Cairo, atau Wa Nasiitu Anni Imra'ah (Dan Aku Lupa Jika Aku Perempuan) dari pengarang yang sama yang menjadi The Frozen Lily (ada versi terjemahan lain yang mempertahankan terjemahan judul aslinya). Cara ini tampaknya juga tidak jitu.
Sebenarnya,  di luar para penulis yang belakangan karyanya marak diterjemahkan di  Indonesia, banyak penulis baru di dunia Arab yang baik cara penulisan  mau pun pemilihan temanya amat menarik dan beragam. Ini terutama yang  berasal dari Libanon. Berbeda dengan novel-novel Mesir (Mahfouz,  Quddous, Hussein, dan Saadawi) yang sarat pesan sosial, penulis Libanon  lebih berkosentrasi pada bentukan dan gaya baru. Temanya bisa  macam-macam.
Suad's Cabaret,  novel pertama Mohammed Suwaid, misalnya. Novel terbitan Dar al-Adab,  Beirut, 2005, ini bercerita tentang Su'ad Husni, superstar asal Mesir  yang membunuh dirinya sendiri di London pada Juni 2001 dengan alasan  yang tidak jelas. Meski bercerita tentang tokoh nyata, tapi Suwaid tidak  sedang menulis biografi. Ia memakai sudut pandang orang ketiga dan  menceritakannya dengan jenaka sekaligus getir. Ia menggabungkan air mata  dan tawa, keindahan Beirut dan kehancurannya. Ia seperti menulis cerita  detektif tentang kematian seorang selebritas dengan penuh kejutan dan  misteri.
An Iraqi in Paris oleh penulis Irak Samuel Shimon juga cukup menarik. An Iraqi in Paris bukan sekadar novel otobiografi, tapi adalah sebuah buku cerita.  Gayanya memang seperti novel Arab tradisional: tak ada plot utama, tidak  ada konflik psikoanalistis, atau pendekatan tertentu pada sejumlah  karakter. 
Shamuel  tak pernah berhenti beralih dari satu kisah ke kisah lainnya. Terus  berganti seperti Shahrazad yang bercerita kepada Raja Shahriar di kisah  1001 malam. Kita tidak akan menemui sang pahlawan dalam novel ini duduk  di sudut kafe dan merenung. Dia selalu tergesa-gesa, seperti ditunggu  orang sedunia, bergerak dari kafe ke bar dan dari bar ke kafe, berharap  menemukan teman yang mentraktirnya minum atau menginap di rumahnya. Dia  tinggal selama sepuluh tahun di Paris tanpa tempat berteduh yang pasti.
Atau  kalau mau yang kontroversial kita dapat membaca novel Najem Wali yang  terbit September lalu bersamaan dengan Frankfurt Book Fair berjudul The Journey to Tell al-Lahm.  Buku ini memancing perdebatan sengit, tidak hanya di dunia Arab, di  mana lima negaranya melarang buku ini, tapi juga di Eropa. Novel tentang  Irak di masa Saddam Hussein ini benar-benar berbeda dari karya sastra  Arab lainnya, meski ia juga memakai gaya Shahrazad. 
Dan jangan lupa, mereka juga punya Zayni Barakat,  salah satu novel kontemporer Mesir paling sukses. Novel karangan Gamal  el-Ghitani ini awalnya adalah cerita bersambung di majalah Rose el-Youssef pada 1970-an. Novel tentang Mesir di abad ke-16 ini bahkan edisi  Inggrisnya pernah diterbitkan oleh Viking dan Penguin. Edward Said juga  memberi pengantar untuk novel ini. 
Hal  yang sama sebenarnya terjadi pada puisi. Di luar Gibran yang kumpulan  puisinya dalam bahasa Indonesia laris manis, sebenarnya banyak penyair  modern Arab yang tak kalah romantis dibanding Gibran. Taruhlah misalnya  Nizar Qabbani yang meninggal pada 1998. Di dunia Arab, puisinya bahkan  lebih populer dari Gibran karena dipakai untuk lirik lagu sejumlah  penyanyi seperti Kazem Saher dari Irak, Magda er-Roumy dari Libanon, dan  Abdul Halim Hafiz. 
Yang lebih muda ada Maram al-Massri yang menerbitkan kumpulan puisi dalam dua bahasa Inggris dan Arab: A Red Cherry on a White-tiled Floor: Selected Poems "She asked him/for a dream/and he offered her a reality./Since then/she found herself/a bereaved mother."
sumber artikel:
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori  dengan judul Mencecap Oase Timur Tengah. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://narutosipudenost.blogspot.com/2015/03/mencecap-oase-timur-tengah.html. Terima kasih!
Ditulis oleh: 
Unknown - Kamis, 26 Maret 2015
Belum ada komentar untuk "Mencecap Oase Timur Tengah"
Posting Komentar