Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

About

Popular Posts

Blogger templates

Blogger news

Blogroll

PARADIGMA KAJIAN SASTRA DAN MASA DEPAN KEMANUSIAAN


Sub-tema yang sebenarnya diharapkan dari saya adalah “Implementasi Aspek Humaniora dalam Kajian Sastra”. Dalam TOR, diterangkan bahwa tema Dies Natalis XVI “Implementasi Aspek Humaniora” kali ini adalah kelanjutan dari tema Lustrum III tahun 2008 yang lalu, yaitu “Mereposisi Identitas Fakultas Sastra”. Secara lebih lengkap dijelaskan dalam TOR tersebut bahwa “Hasil seminar lustrum tersebut menyatakan bahwa hermeneutika merupakan landasan untuk membentuk identitas Fakultas Sastra. Karena Fakultas Sastra USD bergelut dalam bidang humaniora: bahasa, sastra, dan sejarah, maka permasalahan mengerucut menjadi bagaimana landasan hermeutika tersebut diimplementasikan dalam ilmu bahasa, sastra, dan sejarah.” Dengan kata lain, tema yang perlu dibahas di sini sesungguhnya adalah “Implementasi Hermeneutika dalam Kajian Sastra”.
Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, muncul dugaan bahwa sudah ada kegelisahan di kalangan stakeholders Fakultas Sastra mengenai semakin melemahnya intensitas dan kualitas riset yang dilakukan oleh (dosen dan) mahasiswa sehingga perlu ditanamkan sebuah tradisi pemikiran (khas barat) dengan menggunakan metodologi hermeneutika, sebuah bidang kajian yang seringkali dipandang sebagai sub-bidang teologi. Dugaan itu barangkali ada benarnya. Apabila kita mengamati peta kajian sastra di Jurusan Sastra Indonesia, terdapat dua kecenderungan (tradisi) pemikiran. Pertama, kecenderungan penelitian yang bersifat normatif-reproduktif. Tradisi ini berusaha mempertahankan warisan akademis yang berlaku sebelumnya. Apabila ada judul penelitian Tekanan Batin tokoh Saman dalam Novel Saman karya Ayu Utami: Kajian Psikologi Sastra maka akan muncul banyak reproduksinya dalam bentuk Tekanan Batin Tokoh Seto dalam Novel Burung-burung Manyar karya YB Mangunwijaya: Kajian Psikologi Sastra atau Tokoh Srintil dalam Ronggeng Dukuh Paruk; Tokoh Karman dalam Kubah, dst. Dengan reproduksi-reproduksi semacam itu, sumbangan kajian sastra pada masyarakat apalagi masa depan kemanusiaan menjadi kabur.
Kedua, kecenderungan penelitian yang bersifat hermeneutik-produktif. Model penelitian ini merupakan kebalikan dari corak pemikiran normatif-reproduktif. Penelitian hermeneutik-produktif berusaha mengambil cita-cita moral humanistik dan mengkajinya melalui karya-karya sastra. Mereka dibekali dengan nilai-nilai humaniora tertentu (meskipun tidak secara sistematis dan terencana) dan secara kreatif mengimplementasikan dan mengungkapnya dalam karya-karya sastra dengan menggunakan alat-alat analisis yang bisa beragam. Isu-isu seperti kesetaraan gender, kemiskinan, penggusuran, penindasan, pembodohan, diskriminasi dan ketidakadilan yang merupakan isu-isu humanistik lebih menarik perhatian mereka daripada sekedar mereproduksi model-model penelitian yang sudah ada. Karena itu, benarlah bahwa Hermeneutika diperlukan dalam membentuk identitas Fakultas Sastra, khususnya Jurusan Sastra Indonesia. Hermeneutika yang dikenal dalam tradisi pemikiran barat sebagai kerangka metodologi untuk memahami teks klasik dan Kitab Suci (Ridwan, 2008) dapat memicu iklim dan tradisi akademis yang lebih cemerlang.
Makalah ini tidak secara langsung membahas subtema Implementasi Aspek Humaniora dalam Kajian Sastra. Sebagaimana terlihat dalam judul di atas, pembahasan akan difokuskan pada paradigma kajian sastra dan masa depan kemanusiaan. Topik ini dipilih karena dua alasan. Pertama, disiplin ilmu sastra memiliki sejumlah masalah dan metode untuk menetapkan core disiplinnya, dengan menggunakan prosedur repertoirnya sendiri dengan vocabulary yang khas (Lefevere, 1977). Kedua, melalui subtopik ini, berbagai aspek humaniora dapat diimplementasikan dalam kajian sastra, yang akan diabdikan untuk masa depan kemanusiaan. Untuk itu, berturut-turut uraian ini yang membahas: (1) sebuah evaluasi tentang posisi studi sastra yang marginal; (2) meninjau paradigma kajian sastra, (3) masa depan kajian sastra dan kemanusiaan; (4) penutup.

Pertanyaan-pertanyaan ini muncul dari adanya tiga asumsi yang keliru sebagai berikut. Pertama, belajar sastra adalah mempelajari keindahan kata dan keindahan alam yang bertujuan untuk mendapatkan hiburan. Sastra yang baik, dalam pengertian ini, tidak boleh berhubungan dengan atau dinodai oleh aspek-aspek ‘luar’ seperti politik, ekonomi, sosial. Kedua, sastra adalah karya fiksi, karya imaginatif, yang tidak memiliki hubungan dengan fakta-fakta dalam realitas kehidupan. Kalaupun hendak dihubungkan dengan realitas kehidupan, diperlukan mediasi-mediasi teoretis yang rumit, yang tidak semua orang bisa melakukannya. Ketiga, ada keyakinan bahwa belajar sastra (cerpen/novel) hanyalah mempelajari tema, penokohan, alur, sudut pandang penceritaan, dan gaya bahasa. Keyakinan ini diperkuat dengan pengalaman pengajaran sastra di sekolah (SLTP/SLTA) yang tidak pernah bergerak dari penapisan stuktural (Salam, 2008).


Pendekatan Objektif. Pendekatan objektif berusaha menjauhkan hal-hal yang dianggap berbau subjektif (yang disebut sebagai hal-hal bersifat eksternal) dan menekankan studi sastra pada teks sastra itu sendiri (yang disebut sebagai aspek intrinsik). Pendekatan ini sangat dipengaruhi oleh filsafat positivisme yang menekankan objektivitas dan netralitas keilmuan. Akibat pengaruh positivisme itu, pendekatan ini dipandang memenuhi tuntutan dan persyaratan keilmuan (Taum, 1997: 31) karena berhasil mengembangkan sistem dan metode keilmuan untuk memahami objek kajiannya, yaitu teks sastra itu sendiri. Mengingat kajian sastra hanya terfokus pada ‘dunia dalam kata’ yaitu struktur teks itu sendiri, maka salah satu kelemahan pokok pendekatan ini adalah sifatnya yang a-historis. Strukturalisme, sebuah aliran utama dalam pendekatan ini, menghapus sejarah manusia karena berambisi membangun struktur universal yang menghapus pandangan individual. Sumber makna bukan pada pengalaman manusia pengarang atau pembaca, melainkan pada sistem yang menguasai individu. Dengan demikian, strukturalisme juga bersifat antihumanis (Selden dalam Taum, 1997: 46). Pendekatan yang semacam ini hampir tidak berhubungan dengan persoalan-persoalan manusia dan masyarakat tempat karya sastra itu dilahirkan. Implikasinya, karya sastra dan kajiannya tidak memiliki relevansi dengan apalagi kontribusi terhadap masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan bangsa.
Pendekatan Ekspresif. Pendekatan ekspresif beranggapan bahwa karya sastra pertama dan terutama merupakan pernyataan atau ekspresi batin pengarangnya. Pendekatan ini adalah yang paling mapan dan cukup tua dalam sejarah studi sastra (Wellek dan Warren, 1993: 82). Pendekatan ini dapat dianggap sebagai studi yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatifnya. Teori ini menekankan data biografik dan historik dari pengarang karena dipandang dapat membantu memberikan penjelasan tentang penciptaan dan makna karya sastra. Pendekatan ini mendapat kritik yang sangat tajam dari Wimsatt dan Beardsley melalui buku mereka The Intentional Fallacy (Taum, 1997: 26). Mereka menegaskan bahwa adalah keliru apabila dalam menganalisis dan menafsirkan sebuah teks sastra orang berpedoman pada maksud (intensi) dan latar belakang pengarang. Intensi pengarang tidak dapat dijadikan norma untuk menilai sukses atau gagalnya sebuah karya sastra.

Sesungguhnya sejak berakhirnya perang dunia kedua (PD 2), sebenarnya orientasi pertumbuhan ilmu-ilmu cenderung mengarah pada pendekatan interdisipliner. Ciri lama perkembangan ilmu yang bercabang-cabang, majemuk, kompleks, menggurita dan banyak spesialisasinya mulai berkurang. Oleh karena ilmu menjadi tidak manageable lagi, orang mulai memikirkan pendekatan dan penataan interdisipliner dan komunikasi antara ilmu-ilmu. Orang menyadari bahwa ilmu bersifat evolutif atau menyejarah. Karena itu manusia berusaha dapat memikirkan bahwa membuat perencanaan (strategis) mengenai kemungkinan lebih lanjut dari evolusi ilmu itu sendiri. Selain kecenderungan pertumbuhan ilmu yang interdisipliner itu semakin kuat, ciri perkembangan keilmuan lain sejak berakhirnya perang dunia kedua adalah ilmu menjadi lebih pragmatik, dalam arti ilmu terkait dengan kepentingan politik, industri, dan militer (Pranarka, 1987: 174).
Model perkembangan ilmu yang semacam itu sesungguhnya sudah disadari pula oleh pemerintah Indonesia. Telah disebutkan di atas, bahwa terpinggirkannya fungsi dan kedudukan ilmu-ilmu humaniora terutama disebabkan karena tidak adanya kebutuhan pasar akan lulusan ilmu-ilmu tersebut. Jika hal ini dibiarkan, tidak dapat diharapkan adanya sumbangan yang dapat diperoleh dari ilmu-ilmu humaniora umumnya dan kajian sastra khususnya bagi masa depan kemanusiaan. Karena itu, untuk dapat survive dalam persaingan pasar yang semakin ketat, tidak ada pilihan lain bagi ilmu sastra untuk memasuki bidang ‘ekonomi kreatif’ (yang akan diterangkan kemudian). Pemerintah melalui Dirjen Dikti juga secara eksplisit telah menekankan ‘relevansi’ ilmu dengan pembangunan perekonomian nasional, terutama dengan dunia industri.
Pertama, munculnya temuan-temuan baru di bidang pertanian, temuan-temuan ini secara berproses mengangkat derajat kehidupan umat manusia dengan menjadikan usaha pertanian sebagai penopang utama bagi kehidupan. Pertanianlah yang menjadi sentral kehidupan dan semua temuan-temuan barn pun ditujukan kepada upaya meningkatkan produktifitas di bidang pertanian. Kedua, munculnya peradaban baru yang lahir sebagai hasil Ciptaan Revolusi industri. Temuan-temuan baru berupa mesin yang berhasil melipat gandakan kerja otot dan bahkan secara keseluruhan mengganti tenaga manusia secara fisik untuk bekerja dengan cepat, tepat dengan hasil yang berlipat ganda. Ketiga, lahirnya sebuah era baru yang secara total di gerakkan oleh revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi. Di era ini IPTEK tidak hanya menambah kemampuan otot manusia, tapi juga melipat gandakan kemampuan otak dan kinerja nalarnya. Teknologi yang melipat gandakan kemampuan dan kinerja nalar yang dicapai umat manusia di era gelombang ke III, adalah berkat kemampuan IPTEK dalam bidang Computer, Komunikasi, dan Control yang kemudian melahirkan revolusi komunikasi dan selanjutnya melahirkan satu tatanan masyarakat dunia yang baru yang di kenal dengan nama Masyarakat Informasi.
Saat ini kita memasuki fase perkembangan keempat di mana budaya menjadi komoditas utamanya. Kini, dalam fase keempat ini, fenomena peradaban umat manusia ditandai dengan apa yang disebut “ekonomi kreatif” . Dalam upaya menanggapi arus deras gelombang ekonomi keernpat ini Pemerintah RI telah meluncurkan cetak biru Ekonomi Kreatif Indonesia (lihat Paeni, 2008), yakni konsep ekonomi baru yang berorientasi pada kreativitas, budaya, serta warisan budaya dan lingkungan. Cetak biru tersebut akan memberi acuan bagi tercapainya visi dan misi industri kreatif Indonesia sampai tahun 2030. Landasan utama industri kreatif adalah sumber daya manusia Indonesia, yang akan dikembangkan sehingga mempunyai peran sentral dibanding faktor-faktor produksi lainnya. Penggerak industri kreatif dikenal sebagai sistem triple helix, yakni cendekiawan (intellectual), dunia usaha (business), dan pemerintah (government).


Kebanyakan pengamat dan kritikus media memberikan penilaian yang negatif terhadap sinetron di berbagai televisi swasta di Indonesia. Selain bahasanya yang Betawi oriented, sinetron-sinetron Indonesia lemah dalam hal tema (apabila tema tertentu sedang diminati masyarakat, tema itu sajalah yang ditampilkan secara seragam di berbagai sinetron; biasanya tidak bergeser dari tema-tema percintaan) ; latar (latar sosial: pada umumnya menyangkut kelas menengah ke atas; latar waktu: sekarang, jarang mengungkap masa-masa sulit yang lalu –dark-past; latar tempat: Jakarta, umumnya tidak mencerminkan semangat nasional dan mondial); tokoh dan penokohan (tokoh pipih: hitam-putih dengan acting yang kebanyakan over); alur (alur yang mudah ditebak, penuh digresi yang dibuat-buat dan tidak terfokus karena mengikuti selera pasar).




Sumbangan terpenting dari Humanisme adalah asumsi dan sikapnya yang tegas tentang adanya ‘nilai intrinsik’ kemanusiaan. Perlu diperhatikan bahwa ‘nilai humaniora’ dalam bahasa Yunani disebut ‘axios’ (axia) yang memiliki makna ganda: nilai atau harga dan martabat atau kehormatan. Dalam bahasa Latin disebut ‘dignitas’. Ada dua pandangan yang berbeda tentang dignitas itu. Pandangan pertama mengatakan bahwa dignitas adalah apa yang harus ditampilkan oleh seseorang yang memiliki peran tertentu dan apa yang harus diberikan orang lain karena perannya itu. Pandangan ini didukung oleh dunia Romawi kuno dan filsuf politik Thomas Hobbes. Pandangan kedua menegaskan bahwa dignitas adalah sesuatu yang melekat pada kemanusiaan, terberi bersama hakikat kemanusiaan itu sendiri. Pandangan ini didukung oleh Cicero, Immanuel Kant (lihat Kleden, 2006). Aliran humanisme (Humaniora) menganut pandangan yang kedua ini, yaitu bahwa nilai kemanusiaan tidak ditentukan oleh ‘nilai ekstrinsik’ atau nilai-nilai ‘luar’ yang ditempelkan pada manusia seperti memiliki bibit, bebet, dan bobot. Cita-cita humanisme adalah penghargaan yang tinggi terhadap martabat kemanusiaan itu sendiri, sementara bibit, bebet, dan bobot hanyalah unsur-unsur yang sekunder. Martabat manusia tetap tinggi, sekalipun bibit, bebet, dan bobotnya tidak mengesankan.
Aspek humaniora yang coba diimplementasikan dalam kajian sastra dalam tulisan ini menjadi sangat konkret. Cita-cita kemanusiaan di Indonesia (yang berasaskan Pancasila dan berciri multikultural) dapat digali (melalui berbagai metode interpretasi, termasuk metode hermeneutik yang sudah dikenal) dari berbagai karya sastra. Bagaimanapun, potret carut marut kemanusiaan di Indonesia terekam pula di dalam berbagai karya sastra. Dari berbagai tragedi kehidupan seperti Tragedi 1965, Tragedi Tanjung Priok, Tragedi Ambon, Tragedi Poso, Tragedi Bom Bali, Tragedi Pembagian Zakat, sampai krisis ekonomi global. Kemampuan menganalisis dan mengungkap aspek-aspek itu di dalam karya sastra memberikan pengalaman yang berharga bagi lulusan yang menguasai kajian sastra untuk mengaplikasikannya dalam penulisan skenario film/sinetron yang lebih bermanfaat bagi pembelajaran masyarakat kita.





















Anda baru saja membaca artikel yang berkategori dengan judul PARADIGMA KAJIAN SASTRA DAN MASA DEPAN KEMANUSIAAN . Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL https://narutosipudenost.blogspot.com/2015/03/paradigma-kajian-sastra-dan-masa-depan.html. Terima kasih!
Ditulis oleh: Unknown - Minggu, 08 Maret 2015

Belum ada komentar untuk "PARADIGMA KAJIAN SASTRA DAN MASA DEPAN KEMANUSIAAN "

Posting Komentar